Sabtu, 05 April 2008

SBI Bukan Hanya Bahasa

Suhadi Soroti Kekurangkreatifan di Sekolah



KEDIRI - Penyakit kurang kreatif. Kondisi itulah yang menghinggapi rata-rata sekolah di Indonesia saat ini. Bukan hanya siswa saja yang minim kemampuan berkreasi dalam proses pembelajaran. Guru pun juga terjangkit penyakit seperti itu. Suhadi Fadjaray, trainer sumber daya Manusia (SDM) dari Indonesia Trans Consulting, menyodorkan buktinya.



Saat tampil di depan ratusan guru yang mengikuti workshop Pembelajaran Inovatif Berprespektif Global di Hotel Lotus Garden kemarin, dia memberi contoh ekstrem ketidakkreatifan yang selama ini tak disadari. "Anak-anak (didik, Red)-nya menggambar pemandangan? Ada gunungnya dua? Mataharinya berambut? Sawahnya kotak-kotak?" tanya mantan pengajar di sejumlah sekolah internasional itu kepada para peserta."Se Indonesia gambarnya begitu. Dari sebelum zaman saya sampai sekarang ya itu yang digambar. Apa tidak ada gambar lain untuk diajarkan ke siswanya?" kritiknya dengan berapi-api, yang disambut tawa riuh dan geleng-geleng kepala oleh para guru yang memadati hall hotel tersebut sejak pukul 09.00.



Dalam workshop yang digelar Lembaga Pengembangan SDM Mandiri Sejahtera dan Radar Kediri tersebut Suhadi berharap agar para guru tidak langsung menyalahkan siswa. Khususnya bila mendapati siswa yang sulit menangkap pelajaran. Tapi harus dicari sumber permasalahannya. "Karena disable learning (ketidakmampuan menangkap pelajaran, Red) atau disable teaching (ketidakmampuan mengajar, Red)?" tandasnya.Menurut Suhadi, bila tidak ada kreativitas dalam mengajar, akan berdampak pada siswa didik. Mereka jadi sulit menangkap pelajaran yang disampaikan guru. Ironisnya, selama ini yang disalahkan selalu murid. "Muridnya yang dimarah-marahi. Sudah mbundeli (tak paham, Red) dimarahi gurunya, padahal gurunya yang mbundeli," kata mantan captain teacher Sekolah Ciputra yang sekarang malang melintang di bidang konsultasi, penelitian dan pelatihan SDM itu.



Sekarang sudah saatnya bagi guru di Indonesia menerapkan pembelajaran berstandar internasional. Yang mengedepankan kreativitas, baik dari siswa maupun guru. "Meskipun sekolah inpres yang ada di desa, tapi sistem pembelajaran harus berstandar internasional," ujarnya.Hanya, selama ini ada sedikit kesalahan pemahaman. Karena standar internasional selalu diidentikkan dengan penggunaan bahasa Inggris dan teknologi. "Kalau menggunakan bahasa Inggris atau menggunakan laptop, katanya sudah standar internasional. Padalah tidak harus seperti itu," imbuhnya.

1 komentar:

Mandiri Sejahtera mengatakan...

iya sih, biasannya hanya bahasa inggris dan laptop tapi ngajarnya sama saja