Selasa, 06 Mei 2008

Pendidikan Bertarif Internasional

Saat menggelar pelatihan pembelajaran inovatif lalu (19/4) saya sempat ‘nyuri dengar’ salah satu guru di SMP SBI Kediri bertanya kepada teman saya, Suhadi Fadjaray. “Pak, Ciputra (Sekolah Ciputra) itu kok tidak pernah muncul dalam lomba-lomba olimpiade mapel (mata pelajaran) ya”. Dalam pikiran saya juga begitu, iya ya, kok tidak pernah terdengar siswa sekolah Ciputra menang olimpiade matematika atau sain. Jawab Suhadi ternyat sangat singkat “Orientasinya tidak di Indonesia, hampir semua lulusan Ciputra melanjutkan ke luar negeri”.
Suhadi memang mantan Captain Teacher di Sekolah Internasional Ciputra. Dia juga telah mempunyai lisensi IBO (Interntional Baccalaureate Orgaization) dan Victorian Certivicate of Education Austraila.Tentunya sangat paham akan sekolah internasional.
Dari pembicaraan di atas, membuat saya penasaran. Kayak apa sih sebenarnya Sekolah Bertaraf Internasional itu? Saya coba bertanya wartawan Radar Kediri yang pernah meliput salah satu SBI di Kediri. Katanya, untuk masuk SBI harus mengikuti tes-tes khusus. Terus pelaksanaan KBM (kegiatan belajar mengajar)-nya menggunakan dua bahasa (Bahasa Indonesia dan Inggris), laptop dan LCD proyektor. Kesimpulannya orang tua harus merogoh kocek dalam-dalam untuk mamasukkan anaknya ke kelas SBI.
Terus saya coba surfing di dunia maya, menurut standar Diknas, ternyata memang seperti itu. Tetapi ada salah satu blog yang justru kontradiktif. Katanya, di Jepang, Prancis, Korea dan Italia, sekolah internasional mereka tetap menggunakan kapur dan tidak menggunakan Bahasa Inggris dalam KBM-nya.
Lho, ‘piye iki’? yang benar yang mana? Saya coba diskusi dengan Suhadi. Ternyata memang benar apa yang tertulis di blog tersebut. SBI di luar negeri lebih ditekankan pada sistem pembelajaran dan kurikulumnya. Suhadi kemudian menunjukkan lima butir deklarasi UNESCO tentang pendidikan internasional, yakni nilai universal budaya perdamaian, pemahaman antarbudaya, pemecahan konflik tanpa kekerasan, penghargaan warisan budaya dan pemeliharan lingkungan, yang terakhir rasa solidaritas dan keadilan pada tingkat nasional dan internasional.
Dari lima butir tersebut, jelas bahwa sekolah internasional lebih menekankan pada pembentukan kepribadian siswa. Membiasakan siswa untuk mempu memecahkan masalah di lingkungannya tanpa kekerasan. Menjunjung tinggi budaya lokal dan pelestarian lingkungan. Jadi sama sekali tidak ada yang berbunyi harus menggunakan laptop atau Bahasa Inggris.
Kedua perangkat tersebut hanya sebagai alat. Dalam pelatihan lalu memang sempat didemonstrasikan contoh pelaksanaan KBM yang dilakukan di sekolah internasional. Dalam satu kegiatan, siswa diajarkan bagaiman berkomunikasi, berinteraksi dengan teman, bekerjasama dalam memecahkan masalah. Dalam demo tersebut, Suhadi meminta masing-masing kelompok membuat rumah-rumahan dari koran. Dari kegiatan tersebut beberapa mata pelajaran dapat diberikan sekaligus. Dari matematika, bahasa indonesia, ppkn, seni dan lain-lain.
Selanjutnya Suhadi juga memaparkan, untuk melaksanakan sekolah internasional, peraga bisa diambil di lingkungan sekolah. Tidak perlu mahal. Yang penting penyampaiannya. Itulah sebabnya dia bertekat menjadikan sekolah ndesa bertaraf internasional. Walaupun tanpa laptop dan LCD proyektor.
Yang saya belum tahu, bagaimana pelaksanaan KBM di SBI kita? Jangan-jangan laptop dan LCD proyektor hanya sebagai pengganti buku tulis dan papan. Artinya hanya sebagai media menulis dan memaparkan pelajaran. Sementara sistem pembelajarannya sama dengan yang sudah-sudah. Celakanya lagi, bila asesmennya tetap disuruh memilih (pilihan ganda). Yah, akhirnya siswa hanya sebagai penghafal mata pelajran bukan pemecahan permasalahan. Kalau begini, yang terjadi bukan Sekolah bertaraf internasional, tetapi SEKOLAH BERTARIF INTERNASIONAL. Belum lagi bila lulusannya tidak ada yang meneruskan ke luar negeri.
Yang juga sempat menimbulkan tanda tanya di benak saya, beberapa waktu lalu salah satu kepala sekolah yang sudah SBI di Surabaya meminta perlakukan khusus untuk masuk perguruan tinggi di Indonesia. Menurut saya tetap harus mengikuti prosedur. Karena perguruan tinggi kita mempunyai standar sendiri. Kalau memang out putnya bagus lulusan SBI otomatis akan diterima.
Rasanya memang masih diperlukan lokakarya atau smiloka untuk pelaksanaan SBI ini. Jangan sampai biaya tinggi yang dikeluarkan pemerintah atau orang tua, yang didapat hanya penguasaan teknologi dan bahasa, sememntara kepribadian siswa dan kemampuan menganalisa dan memecahkan masalah tidak didapat. Tentunya kita ingin SBI yang ada di Kediri benar-benar Bertaraf Internasional. Baik sistem maupun kurikulumnya. Tidak hanya teknologi dan bahasanya.

Tidak ada komentar: